Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

06 Oktober, 2008

sajak dari sahabat

Sudah lama saya nggak ketemu dengan Hardho Sayoko SPB, orang Kedunggalar-Ngawi (Jatim) itu,mungkin udah puluhan tahun. Saya nggak ingat, bulan terakhir saya ketemu dia, mungkin sekitar tahun 1999, saat di MAP dulu, saat dia membantu-bantu Las (Lazuardi Adi Sage, alm). Tampak sekarang dia lebih ganteng dan bersih dengan rambutnya yang lebih banyak putihnya ketimbang warna hitam. Di saat lebaran ini, dia mampir ke Jakarta, sowan ke beberapa teman, di antaranya ke rumah Adek Alwi, Julius Yusijaya, dan sekarang tengah terdampar di IKPN Bintaro rumahnya Salimi Ahmad. 
Waktu saya minta puisinya, dia mengaku belum siap. Sebagai gantinya, dia menyerahkan geguritan (puisi Jawa) yang dimuat di majalah Damar Jati, edisi 68, Agustus 2008.

Berikut ini saya tampilkan karyanya itu.

Hardho Sayoko SPB

 

LAYANG SAKA SABRANG

 

sliramu wis kapang ngrungokake

panguwuhe bocah angon saka gampeng

lan nyawang ijone ledhunge gegodhongan

sing pange ora isin jejogedan

saben angin kumrasak neng papringan

 

embuh wis pirang puluh tahun

dlamakan sikilmu or atau gupak endhut

ngetutake lakune kebo sing ora ngresula

ngratakake ler-leran sawah

sawise neng gapura ngipatake panggresah

ditutake wewayangan sing katut jangkah

 

sliramu kerep takon liwat sms

lan klesak-klesik swara neng tilpun selular

apa neng desa isih ana klenengan

ngiring wong beksa neng sendhang bubar panen

sawise  ngedum buceng lan ngamini donga


embuh wis pirang puluh tahun

aku lan sliramu ora nate gojeg

sawise neng gapura tak kipatake panggresah

nyawang jangkahmu sing biyen malang tumoleh

kesandhung-sandhung larikan dina

sing saiki kerep nyigar kasepan

 

(Geguritan iki nate kepacak ing Kalawarti Umum Basa Jawa Damarjati Jakarta Nomer 68, hal 31, Kemis Pahing 7 Agustus –Rebo Kliwon, 20 Agustus 2008) 

10 September, 2008

Miris dengan kondisi sekarang

Terlalu pahit saya mengikuti berita akhir-akhir ini. Yang terbaca kok musibah melulu. Sudah sedemikian parahnyakah kita dalam mengelola kehidupan bernegara, dan negara harus menanggung derita tersebut untuk dibagi-bagikan kepada sebagian besar penduduk yang berjumlah 250 juta jiwa ini?

Betapa nihilisnya kita! Perjuangan untuk membangun negara yang merdeka, berdaulat, bebas dari ancaman kebodohan dan kemiskinan, ternyata tercoreng sudah oleh musibah demi musibah yang terus beruntun harus dihadapi, dan hampir sebagian besar tak tuntas penyelesaiannya.

Kita terlalu akrab dengan upacara seremonial rupanya!. Tsunami di Aceh Darussalam, yang dapat dijadikan moment pijakan untuk membangun rasa solidaritas, hanya selesai di atas kertas. Penyelesaian pertikaian antar etnis, sebagiannya tidak benar-benar terasakan di tingkat akar rumput. Belum lagi kasus Lapindo Brantas [berita pagi ini, 12/9/08, Kompas menulis 'kasus lapindo, pemerintah "menyerah"], aliran dana BI, ilegal logging, BLBI, dan yang terakhir, berita tentang dominasi asing yang mencapai 47% di hampir seluruh perbankan kita, yang memberi gambaran kita akan mengalami kesulitan dalam memperbaiki sistem perekonomian kita di masa datang.

Anehnya, justru untuk meraih jabatan di tingkat tertentu, kita terlalu murah membagi-bagikan uang hanya untuk merebut kepentingan kita sendiri. Berbagai jenis pemilihan -Gubernur, Bupati, Walikota ataupun pemilihan lainnya- tak juga lepas dari politik uang. Bertimbun-timbun uang kita glontorkan untuk merebut jabatan itu. Cermin masa depan kita terlalu suram.

Kita telah menjadi penipu. Penipu untuk diri kita sendiri. Menipu untuk orang lain.

Saya jadi teringat puisi saya yang saya tulis di tahun 1994, empat-belas-tahun yang lalu. inilah puisi itu. [salimi ahmad]

DI DUNIA TIPU TIPU

di dunia tipu tipu

orang tak seharusnya menjadi penipu
sebab hakekatnya setiap orang
tak mau disebut sebagai penipu
dan tak mau ditipu
walau yang ditipu toh para penipu

jika mereka menipu dan yang ditipu
adalah para penipu
mereka telah tahu makna apa yang tersimpul
dalam setiap mereka bertemu

di dunia tipu tipu
kehidupan berjalan tanpa rasa malu
hukum dan peraturan
sama sekali tak berlaku
hanya akan mengganggu
nilai-nilai yang sebenarnya tabu

hukum yang berlaku
di dunia tipu tipu

adalah hukum yang membantu
bagaimana supaya sukses
menjadi seorang penipu

peraturan yang dipegang
adalah peraturan yang bagaimana
membuat diri aman dari kejaran
hutang dan pengkhiatan

karena di dunia tipu tipu
tak ada yang mau ditipu
mereka jadi sama-sama
waspada

karena di dunia tipu tipu
tak ada lagi yang bisa diakali
untuk ditipu, mereka jadi gila
lantaran kehilangan kerja

Jakarta, 29794



05 September, 2008

Fukuda Pamit Lewat Puisi di Internet

Kamis, 4 September 2008 23:04 WIB
TOKYO, KAMIS - Siapa yang menyangka kalau PM Jepang Yasuo Fukuda juga pandai berpuisi. Paling tidak itulah yang dilakukannya saat berpamitan dengan publik melalui e-mail magazine yang selama ini menjadi saluran komunikasinya.


Demikian tertuang dalam surat elektroniknya, "Fukuda Cabinet E-mail Magazine No.46,’ yang diterima Antara di Tokyo, Kamis. Dalam e-mail tertanggal 4 September 2008 itu, Fukuda mengawalinya dengan kalimat pendek "Terima kasih yang sebesar-besarnya. Saya Yasuo Fukuda". Lalu ia pun memulai pengantarnya dengan sebuah puisi mengenai "the eternal now" atau "keabadian saat ini" sebelum kemudian melengkapi alasan pengunduran dirinya dari kursi perdana menteri Jepang.

Melalui puisi itu, Fukuda menceritakan betapa matahari, laut dan kuil Jepang tetaplah selalu baru meskipun telah ada sejak ribuan tahun lalu. Ketiganya merupakan keabadian saat ini yang selalu baru. Ia juga kerap menggunakan filosofi The Eternal Now dalam menjalankan kegiatannya di pemerintahan.

Mengenai keputusannya untuk mundur, Fukuda menyampaikan keyakinannya akan perlunya penerapan sistem baru yang tetap berpihak kuat kepada rakyat. Di akhir pesannya, Fukuda, yang mundur secara mendadak pada 1 September lalu, tidak lupa menyampaikan rasa terima kasihnya atas segala masukan yang diterimanya baik berupa kecaman maupun dukungan.
(Sumber Kompas.Com)

26 Agustus, 2008

UNTUK SEBUAH WAKTU

Sajak Salimi Ahmad


*
Aku berkata untuk sebuah waktu yang memberiku hidup. Darinya aku berhutang. Hutang yang tak pernah mampu kumelunasinya. Sebuah beban yang tak habis-habis kukunyah. Namun waktu teramat baik. Aku diberinya hutang terus, setiap hari, hingga di usiaku yang kini. Bagaimana kumelunasinya?

Pernah aku ingin membayarnya, tapi dia menertawaiku. Entah dia senang atau sengaja mengejekku, tak peduli aku. Aku sungguh-sungguh ingin membayarnya.
“Cicil saja,” ucapnya ringan, seringan tangannya yang melambai-lambai meninggalkanku pergi.

Aku pun pulang, tanpa tanya, dengan segenggam harapan, besok aku akan bertemu lagi dengannya, dan mulai mencicil seperti yang diminta.

Esoknya, aku mencarinya, di tempat di mana aku kemarin bertemu, dan berupaya hendak mencicilnya. Tapi tak kujumpai ia. Kutunggu hingga beberapa saat, itu pun sia-sia.

Perutku terasa lapar. Aku mulai digulung rasa penasaran. Kukitari tempat itu, juga tak ketemu dengannya. Laparku sudah kembali menggigit-gigit, sementara beberapa orang sudah kutanyai. Laparku makin lapar, “Kau tahu, di manakah Waktu?”, “Kau kenal dengan Waktu? Di mana ia sekarang?” Namun, tak seorang pun yang dapat menunjukkan di mana waktu berada. Bahkan, beberapa orang di antaranya, dengan keheranan, balik bertanya, “Siapa waktu? Aku tak kenal. Orang mana dia? Seingatku, tak ada nama waktu di sini.”

Bedebah! Aku memaki. Di manakah ia sekarang? tanyaku, sendiri, tidak kepada siapa-siapa.

**
Sepanjang hari itu, dan besoknya, aku mencarinya. Di jalanan tanpa ujung, yang kutemui hanya anak-anak. Begitu banyak anak-anak yang berkeliaran hingga malam, tanpa sepotong pun waktu menyisakan untuknya memahami masa depan. Juga wajah-wajah pucat dengan tulang belulang bertonjolan, semakin dalam terekam di badan.

Duh… Aku termangu di trotoar. Hatiku sedih. Sedih lantaran tak ketemu dengan yang kubayangkan, dengan waktu yang memberiku hutang-hutang.

***
Sejak itu, tidurku tak bisa pulas. Aku dihantui rasa geram, marah, dan sedemikian banyak umpatan caci maki menjadi pembendaharaan hari-hariku.

Aku merasa dipermainkan. Dipermalukan. Seolah aku ini kere, yang sukanya hanya petentengan, memamerkan kemiskinan. Atau, mungkin aku dianggapnya orang yang mampu namun tak becus mengelola, sehingga tetap saja keenakan berhutang, dan berhutang lagi, setiap hari?

Puah, sungguh aku tak terima tuduhan itu. Tak bisa kuterima. Aku harus bertemu dengannya. Kapan pun, di mana pun. Kau bisa tunjukkan?

****
Dengan luluh aku kembali ke rumah. Merenungi nasibku yang terus menerus berhutang.
Mengeluhkan kekesalan dalam berkeranjang-keranjang sialan.

Aku lelah.

Dalam tidurku, dia datang menjengukku. Tampilannya sejuk dan menceriakan. Selalu begitu, konon tak pernah berubah dari dulu pertama ia dilahirkan. Selalu terbuka, dan dirinya penuh dengan penerimaan.

“Jangan sedih,” katanya, “Kau akan terus berhutang. Dan akan berhutang lagi, dan lagi, tanpa sanggup kau lunasi. Karena engkau terlalu mudah menyayangi diri sendiri, sementara kau menjauhi mereka-mereka yang perlu dikasihi.

Juli 2008

14 Agustus, 2008

4 Tokoh Terima Pencapaian

Kamis, 14 Agustus 2008
Jakarta, Kompas - Empat tokoh yang dinilai berprestasi luar biasa dan inovatif di bidangnya, Kamis (14/8) malam, akan menerima Penghargaan Achmad Bakrie 2008. Tradisi pemberian penghargaan sejak tahun 2003, yang diselenggarakan setiap menjelang hari kemerdekaan ini, dilakukan Freedom Institute untuk menghargai dunia pemikiran dan kreativitas pada bidang sosial, politik, ekonomi, dan budaya.

”Penghargaan Achmad Bakrie 2008 ini semacam Hadiah Nobel-nya Indonesia. Mereka dihargai bukan karena satu per satu karyanya, tetapi berbagai macam kepeloporan atau inovasi yang dilakukan sepanjang hidupnya,” ujar Juru Bicara Dewan Juri Penghargaan Achmad Bakrie 2008 Hamid Basyaib, Rabu (14/8) di Jakarta.

Tujuh juri telah menetapkan Taufik Abdullah sebagai penerima penghargaan untuk pemikiran sosial, Sutardji Calzoum Bachri untuk kesusastraan, Mulyanto untuk kedokteran, Laksana Tri Handoko untuk sains, dan Pusat Penelitian Kelapa Sawit untuk teknologi.

Hamid Basyaib mengatakan, Taufik Abdullah terpilih karena ia adalah ilmuwan sosial yang menyadari pentingnya pandangan multidimensi terhadap sejarah.

Adapun Sutardji, dalam puisi bahasa Indonesia, tampak sangat modern, pascamodern, sekaligus purba.

Mulyanto, menurut penilaian dewan juri, keahliannya sebagai dokter telah memenuhi standar akademis internasional serta ketekunan dan komitmen penuh pada bidang ilmunya.

Sementara itu, Laksana Tri Handoko adalah satu dari sejumlah fisikawan di dunia ini yang merintis usaha memburu partikel Higgs, yakni partikel hipotetis yang bisa menjawab pertanyaan ”asal usul massa materi”.

Masing-masing penerima Penghargaan Achmad Bakrie 2008 akan mendapat hadiah uang Rp 150 juta, meningkat dibandingkan tahun 2007 yang Rp 100 juta. (NAL)
(Sumber harian KOMPAS)

12 Agustus, 2008

Catatan Iyus: terkenang Harry Tjahyono

Selasa, 12 Agustus 2008
Memandang foto-foto Harry Tjahyono di koran Kompas Minggu membuat saya teringat pertemuan pertama saya dengannya di awal tahun 80-an. Seorang muda yang seharusnya sangar, tersenyum, agak membungkuk, berbaju kemeja sederhana putih berjins belel menyambut uluran jabat tangan saya. Wah, ini preman yang seniman, batin saya ketika melihat tatonya. Basa-basi sebentar saya merasa bahwa dia sangat rendah hati. Saat itu saya diperkenalkan oleh Syamsudin NM di Bulungan, tempat minum teh poci.

Ah, sudah lama sekali.

Pertemuan saya yang terakhir ketika saya datang ke kantornya bersama Frans Kowa, mungkin selang lima-enam tahun lalu. Di depan kantornya, pada dinding dekat pintu masuk ada relief las-lasan benda-benda besi tua yang artistik. Frans menerangkan bahwa itu adalah karya Harry Tjahyono. Saya sungguh tertegun dan merasakan betapa senimannya kawan satu ini. Waktu berjabatan tangan kembali saya merasakan bahwa dia masih sangat rendah hati.

Ah, sudah lama juga ini.

Minggu lalu ngobrol kangen-kangenan dengan Syamsudin menyinggung Harry juga. Syam Pelor cerita bahwa Harry di Surabaya, punya proyek yang masih menyangkut seni-senian, mungkin menetap di sana. Kesimpulan dari obrolan adalah bahwa kawan satu ini memang seniman dan masih seniman. Seorang yang rendah hati dan baik hati.

Dan ketika memandang foto-foto Harry Tjahyono di koran Kompas Minggu, pada rubrik "Keluarga, Aku dan Rumahku", saya hampir tak mengenalinya. Saya terpana memandangi foto-foto itu, menyadari bahwa waktu berjalan cepat dan orang menjadi tua dan ...terkenal. Tetapi saya percaya bahwa Harry selalu punya semangat muda, masih seniman yang rendah hati.

Ah.
Salam kangen, Har, dan teruslah berkarya.

10 Agustus, 2008

Pertemanan Tulus di Gang Sempit


KOMPAS/YUNIADHI AGUNG / Kompas Images
Harry Tjahjono di ruang kerja.




Minggu, 10 Agustus 2008

Budi Suwarna

Rumah Harry Tjahjono terletak di sebuah gang sempit di tengah perkampungan padat. Suasananya terbilang berisik. Musik dangdut, suara sepeda motor, dan teriakan anak-anak bersahut-sahutan hampir sepanjang hari. Namun, di perkampungan padat itulah penulis naskah sinetron ”Si Doel Anak Sekolahan II” ini menemukan kedamaian.

Siang itu, Selasa (5/8), kami berbincang-bincang di beranda rumah Harry diiringi lagu dangdut Goyang Dombret yang memancar dari tape di rumah tetangga. ”Di sini orang senang menyetel lagu keras-keras,” ujar Harry tentang tetangganya.

Awalnya, kata Harry, dia cukup terganggu dengan kebiasaan tetangganya itu. ”Tapi, saya tidak mau mengganggu kesenangan orang lain. Saya memilih untuk mencoba menikmati lagu-lagu yang dia setel. Sekarang, saya justru suka dan kalau saya senam pagi, saya minta diputarin lagu dangdut,” katanya sambil tertawa terbahak-bahak.

Tempat tinggal Harry di Gang Palem IV Nomor 9, Petukangan Utara, Jakarta Selatan, benar-benar tipikal perkampungan padat Jakarta. Rumahnya saling berimpitan. Teras sempit rumah langsung berbatasan dengan gang. Nyaris tidak ada ruang terbuka. Gangnya meliuk-liuk dan tidak bisa dilalui mobil. Namun, perkampungan itu relatif bersih.

Penghuninya sebagian orang Betawi dan sebagian pendatang. Namun, mereka sama-sama mewakili masyarakat pinggiran. Sebagian miskin, tidak punya pekerjaan tetap, dan berpendidikan rendah bahkan ada beberapa yang buta huruf.

Persoalan yang muncul pun bermacam-macam, mulai masalah rumah tangga, keributan antarwarga, hingga perkelahian pemuda. ”Kalau tinggal di kampung seperti ini, kita harus siap membantu menyelesaikan masalah semacam itu,” ujar Harry yang berasal dari Madiun, Jawa Timur.

Namun, persoalan justru menyatukan mereka. Harry mengaku menjadi dekat dengan warga sekitar. Kedekatan itu selanjutnya membentuk sebuah pertemanan yang tulus. Sekat-sekat yang tadinya ada pun kemudian melebur begitu saja. ”Saking dekatnya, saya bisa keluar masuk ke rumah tetangga dengan enaknya. Mereka juga bisa keluar masuk rumah saya dan mencomot makanan di meja makan seenaknya. Ini menyenangkan.”

Di perkampungan padat, kata Harry, makna rumah menjadi lebih luas. Rumah bukan sekadar bangunan fisik yang dia diami, melainkan termasuk lingkungan sekitarnya. Lingkungan yang memberi ruang warganya untuk berkembang, mengambil dan memberi sesuatu.

Harry mengaku telah mengambil banyak hal dari lingkungannya. Sebagian besar cerita pendek, novel, dan naskah sinetron, termasuk Si Doel Anak Sekolahan II, III, dan IV, idenya dia comot dari lingkungan padat itu. ”Problem orang Betawi yang muncul di sinetron si Doel saya ambil dari kehidupan sehari-hari di sini. Nama tokoh-tokoh figuran saya pinjam dari nama orang-orang Betawi di sini seperti Mpok Gayong, Mpok Kindit, dan Cing Kemot.

Karena telah mengambil banyak hal, Harry mencoba mengembalikan sebagian kepada lingkungannya. Dia menghimpun dana dari sejumlah artis dan orang-orang kaya untuk memperbaiki perkampungan pemulung, sekitar 500 meter dari Gang Ampera. Dia juga membelikan beberapa alat musik dan membentuk grup band untuk remaja di lingkungannya.

Nama bandnya The Flaire dengan aliran musik rock. Kalau mereka latihan berisik sekali. ”Supaya orang-orang di sini tidak komplain, saya bilang kepada mereka, ’kalau main band, anak-anak itu akan rajin shalat.’ Mereka pun tidak keberatan ha-ha-ha.”

Dengan segala suka-dukanya, Harry bertekad tidak akan pindah dari perkampungan padat itu. ”Rumah ini saya anggap sarang tempat saya bisa menelurkan karya. Kalau pindah ke tempat lain, saya belum tentu bisa ’bertelur’,” katanya.

Honor cerpen

Harry tinggal di kampung padat itu sejak tahun 1984. Awalnya, dia mengontrak rumah petak di sana. Dua tahun kemudian, dia membeli tanah seluas 50 meter persegi dari honor beberapa cerpen dan novelnya. Di atas tanah itu, dia membangun satu kamar tidur dan kamar mandi.

Tahun 1989, ketika mendapat uang hadiah sayembara menulis, Harry membeli lagi tanah seluas 50 meter persegi di sebelah rumahnya. Kemudian, dia menambah kamar dan beberapa ruang lainnya. Terakhir, tahun 1990, dia membeli lagi tanah 12 meter persegi dan kembali memperluas rumahnya.

”Total luas tanahnya sekarang 112 meter persegi, luas rumahnya 200 meter persegi,” kata Harry yang sejak muda hingga kini berusia 55 tahun mengandalkan hidup dari menulis.

Di rumah itu, Harry tinggal bersama istrinya, Ernawati (53), dan tiga anak lelakinya, yakni Harry Ekaristi (26), Harry Dwirendra (24), Harry Krisna Triastantya (12), serta cucunya, Irsyad (9).

Rumah yang pembangunannya baru rampung tahun 1992 itu berlantai dua. Rumahnya sederhana dan cukup nyaman. Rumah itu termasuk yang paling besar dan bagus di gang itu. Ada kolam ikan kecil di teras depan dan pohon-pohon yang ditanam di pot. Namun, ciri khas rumah itu adalah daun pintunya dihiasi kaca patri.

Tidak ada perabotan mewah di rumah itu. Hanya ada beberapa kursi, meja makan, ranjang, dan televisi. ”Namun, kami memiliki teman yang tulus yang mungkin tidak akan ditemukan di perumahan mewah,” ujar Harry.




Ruang Tempat "Bertapa"


KOMPAS/YUNIADHI AGUNG / Kompas Images
Duduk di beranda rumahnya di kursi pemberian almarhum pelawak Basuki.



Minggu, 10 Agustus 2008

Ada sebuah ruangan tempat Harry Tjahjono biasa menenggelamkan dirinya hingga berhari-hari. Di ruangan itu Harry menulis banyak cerpen, novel, hingga skenario sinetron.

”Kalau sedang menulis, saya bisa 24 jam tidak keluar ruangan itu. Kalau lapar, istri saya akan mengantar makanan,” katanya.

Ruangan itu bersebelahan dengan kamar tidur Harry. Luasnya hanya sekitar 9 meter persegi. Sempit memang. Apalagi ruangan itu dipenuhi ratusan buku yang diletakkan begitu saja di lemari, anak tangga, meja, hingga lantai. Ada buku-buku filsafat, sastra, dan bahasa.

Harry mengatakan, dia bisa berkonsentrasi mengembangkan kisah di ruangan itu. ”Kalau menulis di tempat lain, ide-ide saya tidak bisa mengalir dengan lancar,” ujarnya.

Belakangan ini, dia mengaku, sering ”bertapa” di ruangan itu karena sedang menyelesaikan novel Bagawad Gawat. Dia sudah merampungkan lebih dari 140 halaman. ”Kalau sudah rampung semua, mungkin tebalnya sekitar 200 halaman,” katanya.

Novel itu akan menjadi novel pertama yang dia susun sejak tahun 1990-an. ”Tahun 1990-an, saya berhenti menulis novel setelah membaca novel-novel karya Pramoedya Ananta Toer. Saya minder karena novel Pram sangat berkualitas,” ujarnya.

Namun, Harry tetap menulis cerpen, cerita anak, dan skenario sinetron. Tahun lalu, Harry mulai merambah ke dunia iklan politik. ”Saya menyusunkan konsep komunikasi politik beberapa calon bupati dan gubernur sekalian membuatkan iklannya,” katanya.

Harry memang tidak akan pernah berhenti menulis. Karena menulis adalah dunianya juga sumber penghidupan keluarganya. Dari menulis Harry bisa membeli rumah, memberi makan keluarga, dan menyekolahkan anak-anaknya. Meski, kata Harry, sebagai penulis dia tidak akan kaya raya.

Ketika sinetron Si Doel Anak Sekolahan II meledak, Harry mengaku mendapat uang dalam jumlah lumayan. Uang itu lantas dia belikan beberapa rumah petak. ”Sekarang tinggal satu, sisanya saya jual untuk biaya kuliah anak,” katanya. (BSW)
(Sumber harian KOMPAS)