Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

10 Agustus, 2008

Pertemanan Tulus di Gang Sempit


KOMPAS/YUNIADHI AGUNG / Kompas Images
Harry Tjahjono di ruang kerja.




Minggu, 10 Agustus 2008

Budi Suwarna

Rumah Harry Tjahjono terletak di sebuah gang sempit di tengah perkampungan padat. Suasananya terbilang berisik. Musik dangdut, suara sepeda motor, dan teriakan anak-anak bersahut-sahutan hampir sepanjang hari. Namun, di perkampungan padat itulah penulis naskah sinetron ”Si Doel Anak Sekolahan II” ini menemukan kedamaian.

Siang itu, Selasa (5/8), kami berbincang-bincang di beranda rumah Harry diiringi lagu dangdut Goyang Dombret yang memancar dari tape di rumah tetangga. ”Di sini orang senang menyetel lagu keras-keras,” ujar Harry tentang tetangganya.

Awalnya, kata Harry, dia cukup terganggu dengan kebiasaan tetangganya itu. ”Tapi, saya tidak mau mengganggu kesenangan orang lain. Saya memilih untuk mencoba menikmati lagu-lagu yang dia setel. Sekarang, saya justru suka dan kalau saya senam pagi, saya minta diputarin lagu dangdut,” katanya sambil tertawa terbahak-bahak.

Tempat tinggal Harry di Gang Palem IV Nomor 9, Petukangan Utara, Jakarta Selatan, benar-benar tipikal perkampungan padat Jakarta. Rumahnya saling berimpitan. Teras sempit rumah langsung berbatasan dengan gang. Nyaris tidak ada ruang terbuka. Gangnya meliuk-liuk dan tidak bisa dilalui mobil. Namun, perkampungan itu relatif bersih.

Penghuninya sebagian orang Betawi dan sebagian pendatang. Namun, mereka sama-sama mewakili masyarakat pinggiran. Sebagian miskin, tidak punya pekerjaan tetap, dan berpendidikan rendah bahkan ada beberapa yang buta huruf.

Persoalan yang muncul pun bermacam-macam, mulai masalah rumah tangga, keributan antarwarga, hingga perkelahian pemuda. ”Kalau tinggal di kampung seperti ini, kita harus siap membantu menyelesaikan masalah semacam itu,” ujar Harry yang berasal dari Madiun, Jawa Timur.

Namun, persoalan justru menyatukan mereka. Harry mengaku menjadi dekat dengan warga sekitar. Kedekatan itu selanjutnya membentuk sebuah pertemanan yang tulus. Sekat-sekat yang tadinya ada pun kemudian melebur begitu saja. ”Saking dekatnya, saya bisa keluar masuk ke rumah tetangga dengan enaknya. Mereka juga bisa keluar masuk rumah saya dan mencomot makanan di meja makan seenaknya. Ini menyenangkan.”

Di perkampungan padat, kata Harry, makna rumah menjadi lebih luas. Rumah bukan sekadar bangunan fisik yang dia diami, melainkan termasuk lingkungan sekitarnya. Lingkungan yang memberi ruang warganya untuk berkembang, mengambil dan memberi sesuatu.

Harry mengaku telah mengambil banyak hal dari lingkungannya. Sebagian besar cerita pendek, novel, dan naskah sinetron, termasuk Si Doel Anak Sekolahan II, III, dan IV, idenya dia comot dari lingkungan padat itu. ”Problem orang Betawi yang muncul di sinetron si Doel saya ambil dari kehidupan sehari-hari di sini. Nama tokoh-tokoh figuran saya pinjam dari nama orang-orang Betawi di sini seperti Mpok Gayong, Mpok Kindit, dan Cing Kemot.

Karena telah mengambil banyak hal, Harry mencoba mengembalikan sebagian kepada lingkungannya. Dia menghimpun dana dari sejumlah artis dan orang-orang kaya untuk memperbaiki perkampungan pemulung, sekitar 500 meter dari Gang Ampera. Dia juga membelikan beberapa alat musik dan membentuk grup band untuk remaja di lingkungannya.

Nama bandnya The Flaire dengan aliran musik rock. Kalau mereka latihan berisik sekali. ”Supaya orang-orang di sini tidak komplain, saya bilang kepada mereka, ’kalau main band, anak-anak itu akan rajin shalat.’ Mereka pun tidak keberatan ha-ha-ha.”

Dengan segala suka-dukanya, Harry bertekad tidak akan pindah dari perkampungan padat itu. ”Rumah ini saya anggap sarang tempat saya bisa menelurkan karya. Kalau pindah ke tempat lain, saya belum tentu bisa ’bertelur’,” katanya.

Honor cerpen

Harry tinggal di kampung padat itu sejak tahun 1984. Awalnya, dia mengontrak rumah petak di sana. Dua tahun kemudian, dia membeli tanah seluas 50 meter persegi dari honor beberapa cerpen dan novelnya. Di atas tanah itu, dia membangun satu kamar tidur dan kamar mandi.

Tahun 1989, ketika mendapat uang hadiah sayembara menulis, Harry membeli lagi tanah seluas 50 meter persegi di sebelah rumahnya. Kemudian, dia menambah kamar dan beberapa ruang lainnya. Terakhir, tahun 1990, dia membeli lagi tanah 12 meter persegi dan kembali memperluas rumahnya.

”Total luas tanahnya sekarang 112 meter persegi, luas rumahnya 200 meter persegi,” kata Harry yang sejak muda hingga kini berusia 55 tahun mengandalkan hidup dari menulis.

Di rumah itu, Harry tinggal bersama istrinya, Ernawati (53), dan tiga anak lelakinya, yakni Harry Ekaristi (26), Harry Dwirendra (24), Harry Krisna Triastantya (12), serta cucunya, Irsyad (9).

Rumah yang pembangunannya baru rampung tahun 1992 itu berlantai dua. Rumahnya sederhana dan cukup nyaman. Rumah itu termasuk yang paling besar dan bagus di gang itu. Ada kolam ikan kecil di teras depan dan pohon-pohon yang ditanam di pot. Namun, ciri khas rumah itu adalah daun pintunya dihiasi kaca patri.

Tidak ada perabotan mewah di rumah itu. Hanya ada beberapa kursi, meja makan, ranjang, dan televisi. ”Namun, kami memiliki teman yang tulus yang mungkin tidak akan ditemukan di perumahan mewah,” ujar Harry.




Ruang Tempat "Bertapa"


KOMPAS/YUNIADHI AGUNG / Kompas Images
Duduk di beranda rumahnya di kursi pemberian almarhum pelawak Basuki.



Minggu, 10 Agustus 2008

Ada sebuah ruangan tempat Harry Tjahjono biasa menenggelamkan dirinya hingga berhari-hari. Di ruangan itu Harry menulis banyak cerpen, novel, hingga skenario sinetron.

”Kalau sedang menulis, saya bisa 24 jam tidak keluar ruangan itu. Kalau lapar, istri saya akan mengantar makanan,” katanya.

Ruangan itu bersebelahan dengan kamar tidur Harry. Luasnya hanya sekitar 9 meter persegi. Sempit memang. Apalagi ruangan itu dipenuhi ratusan buku yang diletakkan begitu saja di lemari, anak tangga, meja, hingga lantai. Ada buku-buku filsafat, sastra, dan bahasa.

Harry mengatakan, dia bisa berkonsentrasi mengembangkan kisah di ruangan itu. ”Kalau menulis di tempat lain, ide-ide saya tidak bisa mengalir dengan lancar,” ujarnya.

Belakangan ini, dia mengaku, sering ”bertapa” di ruangan itu karena sedang menyelesaikan novel Bagawad Gawat. Dia sudah merampungkan lebih dari 140 halaman. ”Kalau sudah rampung semua, mungkin tebalnya sekitar 200 halaman,” katanya.

Novel itu akan menjadi novel pertama yang dia susun sejak tahun 1990-an. ”Tahun 1990-an, saya berhenti menulis novel setelah membaca novel-novel karya Pramoedya Ananta Toer. Saya minder karena novel Pram sangat berkualitas,” ujarnya.

Namun, Harry tetap menulis cerpen, cerita anak, dan skenario sinetron. Tahun lalu, Harry mulai merambah ke dunia iklan politik. ”Saya menyusunkan konsep komunikasi politik beberapa calon bupati dan gubernur sekalian membuatkan iklannya,” katanya.

Harry memang tidak akan pernah berhenti menulis. Karena menulis adalah dunianya juga sumber penghidupan keluarganya. Dari menulis Harry bisa membeli rumah, memberi makan keluarga, dan menyekolahkan anak-anaknya. Meski, kata Harry, sebagai penulis dia tidak akan kaya raya.

Ketika sinetron Si Doel Anak Sekolahan II meledak, Harry mengaku mendapat uang dalam jumlah lumayan. Uang itu lantas dia belikan beberapa rumah petak. ”Sekarang tinggal satu, sisanya saya jual untuk biaya kuliah anak,” katanya. (BSW)
(Sumber harian KOMPAS)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Salam Sejahtera,
Saya baca posting ini, yg menyatakan Bp.Harry Tjahjono sedang menyelesaikan novel "Bagawad Gawat". Saya ingin tahu, apa yg dimaksud dg judul tsb. Sepengetahuan saya, kata "Bagawad" sangat lazim dalam satu rangkaian dg "Bhagawad Gita" salah satu Kitab Suci Umat Hindu, yang artinya Nyanyian (Gita) Tuhan (Bhagawad). Semoga saja bp Harry tidak bermaksud mengatakan TUHAN(hindu) sedang GAWAT. Terimakasih. Salam

Cuplikan artikelnya " Belakangan ini, dia mengaku, sering ”bertapa” di ruangan itu karena sedang menyelesaikan novel Bagawad Gawat. Dia sudah merampungkan lebih dari 140 halaman. ”Kalau sudah rampung semua, mungkin tebalnya sekitar 200 halaman,” katanya.