Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

26 Agustus, 2008

UNTUK SEBUAH WAKTU

Sajak Salimi Ahmad


*
Aku berkata untuk sebuah waktu yang memberiku hidup. Darinya aku berhutang. Hutang yang tak pernah mampu kumelunasinya. Sebuah beban yang tak habis-habis kukunyah. Namun waktu teramat baik. Aku diberinya hutang terus, setiap hari, hingga di usiaku yang kini. Bagaimana kumelunasinya?

Pernah aku ingin membayarnya, tapi dia menertawaiku. Entah dia senang atau sengaja mengejekku, tak peduli aku. Aku sungguh-sungguh ingin membayarnya.
“Cicil saja,” ucapnya ringan, seringan tangannya yang melambai-lambai meninggalkanku pergi.

Aku pun pulang, tanpa tanya, dengan segenggam harapan, besok aku akan bertemu lagi dengannya, dan mulai mencicil seperti yang diminta.

Esoknya, aku mencarinya, di tempat di mana aku kemarin bertemu, dan berupaya hendak mencicilnya. Tapi tak kujumpai ia. Kutunggu hingga beberapa saat, itu pun sia-sia.

Perutku terasa lapar. Aku mulai digulung rasa penasaran. Kukitari tempat itu, juga tak ketemu dengannya. Laparku sudah kembali menggigit-gigit, sementara beberapa orang sudah kutanyai. Laparku makin lapar, “Kau tahu, di manakah Waktu?”, “Kau kenal dengan Waktu? Di mana ia sekarang?” Namun, tak seorang pun yang dapat menunjukkan di mana waktu berada. Bahkan, beberapa orang di antaranya, dengan keheranan, balik bertanya, “Siapa waktu? Aku tak kenal. Orang mana dia? Seingatku, tak ada nama waktu di sini.”

Bedebah! Aku memaki. Di manakah ia sekarang? tanyaku, sendiri, tidak kepada siapa-siapa.

**
Sepanjang hari itu, dan besoknya, aku mencarinya. Di jalanan tanpa ujung, yang kutemui hanya anak-anak. Begitu banyak anak-anak yang berkeliaran hingga malam, tanpa sepotong pun waktu menyisakan untuknya memahami masa depan. Juga wajah-wajah pucat dengan tulang belulang bertonjolan, semakin dalam terekam di badan.

Duh… Aku termangu di trotoar. Hatiku sedih. Sedih lantaran tak ketemu dengan yang kubayangkan, dengan waktu yang memberiku hutang-hutang.

***
Sejak itu, tidurku tak bisa pulas. Aku dihantui rasa geram, marah, dan sedemikian banyak umpatan caci maki menjadi pembendaharaan hari-hariku.

Aku merasa dipermainkan. Dipermalukan. Seolah aku ini kere, yang sukanya hanya petentengan, memamerkan kemiskinan. Atau, mungkin aku dianggapnya orang yang mampu namun tak becus mengelola, sehingga tetap saja keenakan berhutang, dan berhutang lagi, setiap hari?

Puah, sungguh aku tak terima tuduhan itu. Tak bisa kuterima. Aku harus bertemu dengannya. Kapan pun, di mana pun. Kau bisa tunjukkan?

****
Dengan luluh aku kembali ke rumah. Merenungi nasibku yang terus menerus berhutang.
Mengeluhkan kekesalan dalam berkeranjang-keranjang sialan.

Aku lelah.

Dalam tidurku, dia datang menjengukku. Tampilannya sejuk dan menceriakan. Selalu begitu, konon tak pernah berubah dari dulu pertama ia dilahirkan. Selalu terbuka, dan dirinya penuh dengan penerimaan.

“Jangan sedih,” katanya, “Kau akan terus berhutang. Dan akan berhutang lagi, dan lagi, tanpa sanggup kau lunasi. Karena engkau terlalu mudah menyayangi diri sendiri, sementara kau menjauhi mereka-mereka yang perlu dikasihi.

Juli 2008

Tidak ada komentar: